R.a.p.u.h


Image may contain: sky, tree, grass, cloud, plant, outdoor and nature
Teriak pucuk daun pada langit, "Kabut menyingkirlah, aku tak dapat melihat puncak gunung kesayanganku!"
.
.
Kabut tipis bergerak turun seperti hendak patuh pada pucuk daun yang muda. Pucuk daun bergoyang harap-harap cemas.
.
.
Sebaris kabut baru ternyata singgah di atas kabut tipis yang bergerak turun. Pucuk daun berhenti bergoyang dan berteriak makin nyaring, "Kabut menyingkirlah. Aku tak bisa melihat puncak gunung kesayanganku!"
.
.
Dua lapis kabut bergerak turun seperti manusia berbudi baik hendak memberi kelegaan pada sejawat.
.
.
Namun hawa makin dingin sehingga datanglah barisan-barisan kabut baru berdesakan. Pucuk daun bergoyang kuat makin gelisah. "Oh, kumohon pergilah kabut. Aku harus melihat puncak gunung kesayanganku!"
.
.
Hawa makin dingin menggigit membuat pucuk daun menggigil. Barisan-barisan kabut yang kian pekat datang tak kenal ampun bahkan menutup seluruh badan gunung. Pucuk daun menjerit, menangis sampai sesenggukan, meronta, sampai terkulai lemas. Dan kabut juga tak kunjung surut.
.
.
Angin bertiup kuat, pucuk daun tak berdaya lagi, ia bergoyang tak tentu arah bersama angin yang lebih tak kenal ampun daripada kabut. Puncak gunung kesayangannya sudah hilang sepenuhnya dari pandangan. Pucuk daun tak lagi berteriak atau menangis, ia hanya bergoyang saja ikuti angin dan menikmati putihnya kabut sambil menggigil lalu pingsan.
.
.
Lalu waktu tetes embun menggoyangnya lembut, ia jadi siuman. Oh, puncak gunung terlihat lagi! Serta merta senandung sumbang terdengar olehnya, "Betapa rapuhnya kamu, jika harus selalu melihat supaya percaya. Bukankah aku selalu ada di sini?"
.
.
Pucuk daun tenggelam dalam melodi sunyi bersamaan dengan menguapnya titik embun

.
.
#suatu hari saat aku merasa rapuh dan naif
Jogja, 2 Februari 2019, saat Merapi terlihat begitu indah tapi hatiku gentar

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang