Posts

Showing posts from June, 2017

Takbir Keliling

Randu dan Eda melompat-lompat gembira menyaksikan rombongan demi rombongan takbir keliling yang melintas. Ada rombongan yang membawa gunungan. Ada rombongan yang membawa tiruan tugu Jogja. Ada rombongan yang membawa patung Semar. Demikian juga dengan kostumnya, ada beberapa rombongan yang Bapak-bapaknya mengenakan surjan, ada pula yang jadi Hanoman. Temanya Jogja banget. Asyik sekali. "Allahu akbar walillahilam," begitu lantunan yang menyertai langkah peserta takbir keliling. Lantunan doa itu terasa dekat. Ya, dekat dan tenang. Setidaknya saya mengerti bahwa Allahu akbar itu berarti Allah Maha Besar. Dan semua makhluk di bumi sesungguhnya mengamini hal.yang serupa dan mengungkapkannya dalam.berbagai macam bahasa.  Sedihnya, mungkin di tempat yang lain di waktu yang lain, seruan "Allahu akbar" yang indah itu bisa jadi identik dengan trauma, dengan ketakutan, kesedihan, bahkan kematian. Sungguh sangat sedih. Saya seorang Katolik, dan sampai d

Cicipilah Air Putih Kesukaanku

Apakah kau ingin mencoba minum air putih kesukaanku? Kalau begitu kosongkanlah dulu gelasmu yang berisi cokelat itu. Bukankah orang harus mengosongkan gelasnya dulu kalau mau mencicipi jenis minuman yang lain? Ah, tidak. Tentu tidak perlu. Aku lupa. Kau bisa mengambil gelas yang lain lalu menuang air putih ke dalamnya, cicipilah. Lalu kita bisa bercakap-cakap tentang air mana yang lebih enak, air mana yang lebih sehat, air mana yang lebih bermanfaat. Karena aku sudah mencicipi cokelatmu. Cokelatmu rasanya tidak pas, terlalu banyak gula. Takarannya juga kurang pas, terlalu encer buatku. Kalau kau sudah mencicipi air putih kesukaanku, akan kubuatkan kau secangkir cokelat panas yang dicampur gula aren. Aku jamin, pasti rasanya lebih legit dari cokelat yang ada di dalam gelasmu sekarang. Ini cuma tentang cokelat panas dan air putih dalam gelas, bukan tentang cinta. Tapi bisa saja kau menafsirkannya sebagai wejangan kehidupan, tapi aku bukan si bijak, aku hanya suka bermain k

Betapa Lelahnya Tuhan

Dari masa ke masa, dari tahun ke tahun manusia hidup dalam kelompok-kelompok. Ada kelompok kepercayaan, ada kelompok agama, ada kelompok politik, ada kelompok berdasarkan minat yang sama, ada kelompok berdasarkan status sosial, dan sebagainya. Dan di setiap zaman, setiap anggota kelompok cenderung merasa falsafah yang dianut kelompoknya adalah yang paling benar. Dari situlah timbul berbagai macam perpecahan bahkan perang yang merupakan bencana bagi kemanusiaan. Bacalah sejara h dan kau akan mendapati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa kini sudah pernah terjadi di masa lalu, dan yang lebih lalu, dan yang lebih lalu lagi. Sesungguhnya tak ada hal baru yang terjadi karena manusia pada dasarnya sama dengan bentuk-bentuk kedosaan yang juga sama, serakah, iri hati, sombong, dst, dsb. Tapi sesungguhnya manusia juga dikaruniai hati nurani, katanya di situlah manusia bisa mendengar suara Tuhan, saat itu mau diam dan mendengarkan. Bayangkan betapa lelahnya Tuhan

Kenapa Harus Upacara?

Satu hal menarik yang menjadi perhatian saya pada masa awal mengikuti upacara bendera adalah dirigen paduan suara. Gerakan tangan kakak kelas yang memimpin lagu Indonesia Raya itu terasa asyik dipandang saat kaki mulai terasa pegal dan terik matahari mulai memeras peluh. Pemimpin-pemimpin barisan juga menarik. Terasa sangat heroik ketika masing-masing pemimpin barisan berlari menuju ke hadapan pemimpin upacara dan melaporkan kesiapan barisannya masing-masing. Sampai ketika saya akhirnya pernah ditunjuk jadi pemimpin upacara, bagian itu tetap terasa menyenangkan. Upacara demi upacara pernah saya ikuti. Upacara tiap hari Senin di sekolah. Upacara 17 Agustus di alun-alun kota depan kantor Bupati. Upacara di depan Balai Kota di kota yang lain ketika saya sudah beranjak SMP. Ah, bahkan upacara di kantor yang hanya saya ikuti dari dalam ruang kerja di atas kursi roda. Dan upacara jadi rutinitas. Sayangnya upacara tidak memberi makna yang cukup mendalam bagi rasa nasionali