Kenapa Harus Upacara?

Satu hal menarik yang menjadi perhatian saya pada masa awal mengikuti upacara bendera adalah dirigen paduan suara. Gerakan tangan kakak kelas yang memimpin lagu Indonesia Raya itu terasa asyik dipandang saat kaki mulai terasa pegal dan terik matahari mulai memeras peluh.

Pemimpin-pemimpin barisan juga menarik. Terasa sangat heroik ketika masing-masing pemimpin barisan berlari menuju ke hadapan pemimpin upacara dan melaporkan kesiapan barisannya masing-masing. Sampai ketika saya akhirnya pernah ditunjuk jadi pemimpin upacara, bagian itu tetap terasa menyenangkan.

Upacara demi upacara pernah saya ikuti. Upacara tiap hari Senin di sekolah. Upacara 17 Agustus di alun-alun kota depan kantor Bupati. Upacara di depan Balai Kota di kota yang lain ketika saya sudah beranjak SMP. Ah, bahkan upacara di kantor yang hanya saya ikuti dari dalam ruang kerja di atas kursi roda.

Dan upacara jadi rutinitas. Sayangnya upacara tidak memberi makna yang cukup mendalam bagi rasa nasionalisme saya. Upacara juga tidak lekat dalam memori saya sebagai sarana pengamalan Pancasila atau prinsip-prinsip kebhinekaan seperti halnya lomba-lomba cerdas cermat P4 yang pernah saya ikuti.

Kenapa harus upacara?
Saya sering bertanya-tanya. Adakah upacara membakar semangat juang? Adakah upacara menyulut semangat toleransi?

Tapi pengalaman mengumpulkan bunga lalu meroncenya untuk dibawa melayat ke rumah seorang teman itu memupuk semangat bela rasa yang luar biasa.

Pun, melihat antrean pasien yang berjubel di ruang tunggu praktek Ayah saya dan mendengar komentarnya atas antrean itu, "Itu pasiennya nggak bayar. Mereka berobat ditanggung negara. Dan Papa tidak mendapat banyak uang dari situ." membangkitkan pemahaman bahwa manusia itu wajib menolong manusia lain tanpa pamrih apalagi memandang warna kulit dan agama.

Kenapa harus upacara? Saya sering bertanya-tanya. Adakah kebijaksanaan disarikan daripadanya?
Menyaksikan ibu-ibu tani menyiangi rumput liar di sela-sela ladang sayur, dan bapak-bapak tani yang mencangkul tanah di lahan sayur perbukitan yang terjal rasanya seperti dipermalukan di depan umum. Lalu timbul kesadaran bahwa kalaupun saya sudah berbuat ini dan itu, mereka bahkan sudah berbuat jauh lebih banyak dan berarti. Kebajikan kadang-kadang muncul dari rasa malu akibat ego
yang ditelanjangi. Dan kemerdekaan bangkit dari kemauan untuk lepas dari penindasan.

Menyaksikan orang-orang di sekitar saya yang hidup dengan banyak permasalahan, dari penyakit hingga utang dengan bibir yang tak lupa tersenyum dan harapan yang selalu menyala-nyala membangun keyakinan saya akan Ketuhanan yang Maha Esa.

Kenapa harus upacara? Saya sering bertanya-tanya. Adakah upacara mempersatukan golongan yang mungkin berseteru? Adakah upacara membuat jasa pahlawan terus dikenang dan dihidupi?
Mungkin upacara yang dihayati lebih dari sekedar rutinitas. Dan upacara yang disertai dengan tindakan-tindakan nyata dan baik bisa menghidupi semangat-semangat itu.
.
.
Sebuah refleksi di Hari Lahir Pancasila. Syukur kepada Tuhan Pancasila pernah dilahirkan.
Jogja, 1 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang