Posts

Showing posts from December, 2016

Bukan Langit Biru

Aku kepul asap pekat Aku derit roda besi yang beradu rel Aku bukan langit biru Bukan pula semak belukar Aku mungkin peluh masinis dalam lokomotif Atau desah resah seorang penumpang Pasti, aku bukan langit biru Apalagi bunga yang mekar Bisa jadi aku gurauan dua anak kecil dalam gerbong Atau umpat pedas seorang asing pada pelayan berseragam Tentu kau mengerti, aku bukan langit biru Bukan pula sinar yang berpendar Inginkah kau bertemu denganku? "Ya," kau bilang. "Berhentilah menatap langit biru," kataku. Jogja, 11 Desember 2016

Surat Cinta Buat Eda

Aku cemas dari waktu ke waktu Waktu berat badanmu tidak sesuai dengan umurmu Waktu kamu tidak mau banyak makan Waktu kamu dirawat di rumah sakit Aku cemas dari waktu ke waktu Ah, bukan, aku tak hanya cemas Orang-orang menyebutnya post partum depression "Karena aku begitu mencintaimu?" Tanyaku dalam hati. "Tidak," kataku sendiri. Aku cemas karena aku takut terluka. Post partum depression mampir karena aku ingin disebut ibu yang super. Aku kira aku begitu mencintaimu, tapi maaf, Nak, aku lebih mencintai diriku sendiri. Tapi kamu mencintaiku tanpa syarat Kamu tertidur pulas dalam pelukanku yang berjiwa rapuh ini Kamu percaya padaku sepenuhnya Kamu mencintaiku waktu aku tertawa, atau marah atau menangis Kamu mencintaiku saat aku sehat maupun sakit Kamu selalu menanti-nanti waktu bermain denganku walaupun tak jarang aku menundanya karena aku terlalu asyik bekerja Kamu, Nak, yang selalu mencintaiku tanpa syarat. Air mataku kutumpahkan untuk mer

Mamaku

Kata Mamaku, waktu beberapa orang dari kantor tempat aku pernah bekerja bahwa aku mengalami kecelakaan yang cukup serius di sebuah jalan tol di Jakarta, ia tidak bisa tidur. Ia berulang kali mengatur baju-bajuku dan baju-bajunya yang akan dibawa ke Karawang menjengukku keesokan harinya, sambil menelepon sepupuku. Itu terjadi pada tahun 2007. Lalu selama setahun kemudian aku dan Mamaku suka berjalan-jalan ke mall atau sekedar cari makan saat kami jenuh di rumah. Mamaku yang mendorong kursi rodaku.  Hanya sekali aku melihat Mamaku meneteskan air mata saat Papaku dirawat di rumah sakit menjelang akhir hidupnya. Katanya, "Leukemia katanya." Setelah itu dia sibuk mencuci pakaian, sibuk merawat Papa yang terbaring di rumah sakit. Sibuk mencarikan Romo atau biarawan untuk mendoakannya. Sekaligus sibuk mencarikan obat untukku yang sakit maag saking stresnya. Papa yang waktu itu sudah kesulitan bicara suka mengacungkan jempolnya pada Mama. "Mama itu hebat,&quo

Celetukan Randu

Image
---Celetukan Randu 1---- Pulang dari beli baju yang lumayan mereggangkan otot-otot kemarin Aku : (bilang sama Emak) Wah, pancen kurang gerak kok aku ini Randu: (tiba-tiba nimbrung) Makanya, olah raga! Kayak Om Iwan itu! Aku n Emak: Nyahahahahahahaha "Sial," batinku 😄 😄 😄 ---Celetukan Randu 2 --- Seperti biasa tidak ada angin tidak ada hujan, sekonyong-konyong Randu menyatakan pendapat. Randu: Mama, gigiku ini ijo, lo. Pas ada Emak juga di situ. Emak pasang ekspresi kebingungan. Aku mencoba menjelaskan. Aku: Itu lo, gigine ada sing ijo memang, kayak bolong gitu tapi warnane ijo. Emak manggut-manggut. Randu: Ini berarti aku kebanyakan makan sayur! Aku n Emak: HAH!!!! APA! Wkwkwkwkkwkwkw. Alasaaaannnn!!! Randu senyam senyum terus ngeloyor pergi.

Burung yang Tidak Bisa Terbang

Jadi ceritanya Eda lagi mainan burung dan pesawat kertas bersama Randu. Entah apa yang mereka rembug, tiba-tiba Eda bilang, "Sik tak tanya Mama, sik." Eda tanya, "Mama, burung bisa terbang ndak?" "Bisa," aku bilang. "Kakak, kata Mama burung bisa terbang." "Nggak, nggak bisa, yo. Burung nggak bisa terbang." Mama sama Emak melongo. Kok bisa dapat kesimpulan aneh seperti itu. "Nggak bisa, yo, burung nggak bisa terbang. Kan burung dimasak." Eda senyam senyum. Mama sama Emak masih melongo. Sayang Bapak George Oscar Ferns lagi mandi jadi ga dengar pembicaraan ini. Emak tanya, " Burung apa itu?" "Itu burung ayam namanya," Randu bilang dengan sangat yakin. Huahahahaha baiklah baiklah ayam termasuk bangsa Aves. Tidak bisa terbang terlalu tinggi, apalagi kalo sudah dimasak wkwkwkwkwkwk

Tanya Kertas pada Pena

Kata kertas pada pena, "Sudah lama kau tak menyapaku." Pena mengangguk. Tanya kertas tak bergaris, "Tak inginkah kau menggoreskan satu dua kata saja?" Pena menggeleng. "Kenapa kau begitu pendiam akhir-akhir ini?" desak kertas. Pena mendesah. "Ahh, tak tahukah aku rindu sentuhan tintamu?" rengek kertas pada pena. Pena tersenyum. Pena mendekat pada kertas. Dengan tinta birunya ia mulai menulis. Manusia menulis. Manusia bicara. Ada lantun sopan. Ada serapah. Ada puja puji. Ada caci maki. Ada gunjingan. Ada pengetahuan. Ada fitnah. Ada kebenaran. Ada kedurhakaan. Ada indah. Ada busuk. Campur aduk. Makin tercampur makin teraduk. Makin tak bernyawa, makin tak bermakna. Kertas mengaduh. Pena berhenti menulis. "Kenapa?" Tanya pena pada kertas. "Tinta birumu menyakitiku dengan kata-kata tak bermakna itu," erangnya. Pena menjauh. "Sekarang kau tahu jawabnya. Ada kalanya aku harus berhenti menyentuhmu den