Tanya Kertas pada Pena


Kata kertas pada pena, "Sudah lama kau tak menyapaku."
Pena mengangguk.
Tanya kertas tak bergaris, "Tak inginkah kau menggoreskan satu dua kata saja?"
Pena menggeleng.

"Kenapa kau begitu pendiam akhir-akhir ini?" desak kertas.
Pena mendesah.
"Ahh, tak tahukah aku rindu sentuhan tintamu?" rengek kertas pada pena.
Pena tersenyum.

Pena mendekat pada kertas. Dengan tinta birunya ia mulai menulis.
Manusia menulis. Manusia bicara. Ada lantun sopan. Ada serapah. Ada puja puji. Ada caci maki. Ada gunjingan. Ada pengetahuan. Ada fitnah. Ada kebenaran. Ada kedurhakaan. Ada indah. Ada busuk. Campur aduk. Makin tercampur makin teraduk. Makin tak bernyawa, makin tak bermakna.

Kertas mengaduh. Pena berhenti menulis. "Kenapa?" Tanya pena pada kertas.
"Tinta birumu menyakitiku dengan kata-kata tak bermakna itu," erangnya.

Pena menjauh. "Sekarang kau tahu jawabnya. Ada kalanya aku harus berhenti menyentuhmu dengan tintaku. Ada kalanya aku harus berhenti, menghela napas barang sejenak. Menyesap secangkir teh di tengah rintik hujan. Mencari makna tulus dalam keheningan."

Kertas mendekat pada pena. Satu semi satu huruf dari kata-kata tak bermakna bertinta biru pada kertas memudar. Kertas mendesah lega.
"Kapankah kata-kata akan bermakna lagi?" Tanya kertas pada pena.

Cobalah berdiam barang sejenak, itu tidak akan terlalu menyakitkan. Sekali lagi pena menggoreskan tinta birunya pada kertas.

"Ah, kalimat ini terasa hangat," sambut kertas. Pena tersenyum lalu menyesap tehnya yang hangat di tengah rintik hujan dan alunan kata-kata banyak makna para pembuat berita.

Jogja, 3 Desember 2016. Setelah 212

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang