Posts

Showing posts from January, 2018

Memikir Ulang Pendidikan

Ketika kita belajar hal baru, pertama kita meniru dan menerapkannya dalam praktik. Lalu kita akan menganalisa hal baru yang kita tiru tersebut, apakah kita setuju sepenuhya atau ada yang tidak sesuai. Dengan itu kita mengevaluasi. Jika kita sudah sampai pada tahap mengevaluasi maka kita akan mampu menentukan cara baru mana atau ilmu baru mana yang paling sesuai dengan kita. Dengan demikian pada tahap selanjutnya kita sampai pada tahap bisa menciptakan hal baru lain dari hasi l pemikiran kita sendiri.  Contoh sederhana: Si Z belajar masak dari si A. Z belajar masak sayur asem. Tentu saja menggunakan resep si A. Z meniru resep A, baik dari bahan dan bumbu yang digunakan, alat-alat yang digunakan, maupun cara memasaknya. Si A mengajari, si Z mempraktikkan persis seperti apa yang diajarkan si A. Hari berikutnya si Z praktik lagi memasak tanpa didampingi si A. Dia sudah memegang resepnya. Ketika dia praktik lagi dia menimbang-nimbang rasa sayur asemnya ketika dia men

Malam-malam Ditampar Tuhan

Image
Sudah beberapa malam ini anak-anak minta dibacakan cerita dari Kitab Suci. Mamanya dicolek Tuhan supuaya mau baca Kitab Suci. Maka saya bacakan kisah-kisah dalam Kitab Suci Anak-anak mereka. Tadi malam, seperti malam-malam sebelumnya, kami membaca 1 kisah. Kisahnya tentang perumpaan benih yang tumbuh di berbagai macam tanah yang berbeda dan menghasilkan buah yang berbeda. Santai, saya membacakan kalimat-kalimat yang tertera pada Kitab Suci Anak-anak yang kalimat-kalimatnya sudah diparafrase dan dijadikan lebih mudah untuk dimengerti anak-anak. Sampailah saya pada kalimat ini, "Benih yang jatuh di semak duri adalah orang yang mendengarkan sabda Tuhan, tetapi segera dikacaukan oleh kecemasan. Kecemasan menghimpit sabda Tuhan sehingga tak ada yang bisa tumbuh." BLAR! Rupanya Tuhan tidak tinggal diam. Mungkin Dia gemas dengan kecemasan-kecemasan yang tumbuh di hati dan pikiran saya. Malam-malam saya ditamparnya dengan kalimat-kalimat dalam kisah yang

Hobi Membaca

Waktu masih sekolah dulu saya ingat sering diminta mengisi data-data. Pada data-data yang saya isi seringkali ada kolom tentang hobi. Dan pada kolom itu saya selalu mengisi dengan kata "membaca" Waktu itu saya sering merasa sangat tidak populer, cupu kalau kata anak sekarang. Hobi yang sangat tidak keren. Tapi apa boleh buat, tidak ada hobi lain yang melintas di kepala saya. Tapi sekarang saya bersyukur saya punya hobi membaca. Saya bisa belajar mandiri, banyak hal bisa saya pelajari secara otodidak hanya karena saya mampu membaca dan memaknai. Saat saya terjebak dalam permasalahan hidup termasuk sakit, kematian, stres dan depresi, membaca dan menulis adalah obat yang sangat manjur dan memulihkan. Bonusnya adalah saya bisa menulis cerita-cerita untuk menghibur dan memberi padangan-padangan baik pada anak maupun orang dewasa. Bagi saya hidup ini adalah perjalanan, menemukan diri sendiri dan menemukan Dia yang menciptakan saya. Dan buku adalah salah sat

Malam Tahun Baru bersama Nenek Hebat dari Saga

Image
Tak ada uang, maka tak bahagia Menurutku semua orang kini kelewat terikat dengan perasaan seperti itu. Kemudian karena orang dewasa berpikir demikian, maka anak-anak pun tak ayal ikut dibesarkan dalam keadaan ini. Karena tidak diajak ke Disneyland, karena tidak dibelikan baju tren terkini, anak-anak tidak mau menghormati orang tuanya. Karena nilai rapor buruk, karena tidak berhasil masuk sekolah favorit, hanya masa depan suram yang terlihat. Bila hanya anak-anak seperti ini yang kita besarkan, maka setiap hari kian tidak menyenangkan hati, tanpa ada harapan untuk masa depan, dan kenakalan remaja pun makin meningkat. Padahal tanpa uang pun, cukup dengan perasaan tenang, kita dapat hidup dengan ceria. Kenapa aku dapat begitu memercayai ini? Karena nenekku adalah orang yang seperti itu ... "Saat jarum jam dinding berputar ke kiri, orang akan menganggapnya rusak dan membuangnya. Manusia pun tidak boleh menengok ke belakang, terus maju dan maju, melangkah ke depan!&q

Hioswa

Image
Aku diajari untuk menyebutnya hioswa walaupun banyak orang lebih akrab dengan hio atau dupa. Semua orang di keluargaku menyebutnya hioswa. Batang-batang merah atau hitam panjang yang dipakai untuk sembahyang. . . "Itu namanya hioswa," aku pun mengajari anak-anakku menyebutnya demikian. Mereka tak pernah mengenalnya, karena Emak Engkongnya tak pernah lagi sembahyang menggunakan hioswa, bahkan saat sincia sekalipun. Mereka juga tak tahu kalau di depan abu dan foto leluhur ada altar yang kalau tiba waktunya sembahyang atau sincia akan ada banyak makanan untuk sesaji seperti altar yang mereka lihat di klenteng ini. . Aroma asap hioswa yang terbakar memenuhi rongga pernapasanku dan dalam beberapa menit aku menjadi Lia kecil yang sedang memperhatikan Mak Djoen, Nenekku, sedang menata makanan di altar sembahyangan yang ditutup taplak merah bergambar naga menjelang sincia. Kue moho, wajik, kue keranjang, buah pir, apel, masakan-masakan. Lalu Mak Djoen akan men

CAK RI

Image
. Cak Ri yang asli Lumajang saat ini berusia jelang 50 tahun. Membantu Emak membuat dendeng sapi cap Flores, usaha rumahan keluarga, sejak aku masih SD. Sejak kecil aku biasa memanggilnya "Ri" saja tanpa Mas atau Om atau Pak. Entah kenapa, mungkin latah mengikuti orang-orang dewasa di sekitarku. Ri menguasai semua resep dendeng warisan Emak. Dendeng irisan, dendeng giling, dendeng gepuk. Semua dibuat dengan cara yang berbeda walaupun dibumbui dengan racikan bumbu yang sama. Tugasnya menyiapkan bumbu, melumurkan racikan bumbu pada lembar-lembar daging sapi lalu menjemurnya di atap rumah. Ri bekerja membantu Emak sejak Engkong masih ada. Seingatku Engkong yang saat itu sudah sering anfal karena gangguan jantungnya paling suka melontarkan gurauan pada Ri seperti ini, "Kon suk tak jak yo! Nang surgo! Engko dulinan bal-balan. Yo, gelem a?" Lalu Ri akan menanggapinya dengan tertawa terbahak-bahak. Ri bahkan masih bekerja membumbui dan membungkus denden