Hioswa


Aku diajari untuk menyebutnya hioswa walaupun banyak orang lebih akrab dengan hio atau dupa. Semua orang di keluargaku menyebutnya hioswa. Batang-batang merah atau hitam panjang yang dipakai untuk sembahyang.
.
.
"Itu namanya hioswa," aku pun mengajari anak-anakku menyebutnya demikian. Mereka tak pernah mengenalnya, karena Emak Engkongnya tak pernah lagi sembahyang menggunakan hioswa, bahkan saat sincia sekalipun. Mereka juga tak tahu kalau di depan abu dan foto leluhur ada altar yang kalau tiba waktunya sembahyang atau sincia akan ada banyak makanan untuk sesaji seperti altar yang mereka lihat di klenteng ini.
.

Aroma asap hioswa yang terbakar memenuhi rongga pernapasanku dan dalam beberapa menit aku menjadi Lia kecil yang sedang memperhatikan Mak Djoen, Nenekku, sedang menata makanan di altar sembahyangan yang ditutup taplak merah bergambar naga menjelang sincia. Kue moho, wajik, kue keranjang, buah pir, apel, masakan-masakan. Lalu Mak Djoen akan menyalakan lilin di atas meja sembahyang itu dengan sebatang rokok.

Ketika tikar sudah digelar dan saudara-saudara datang silih berganti untuk sembahyang dan mengucapkan selamat, aroma hioswa akan memenuhi ruangan. Ah ... aroma asap hioswa itu terasa aman seperti rumah, walaupun kelak aroma hioswa juga tercium di rumah-rumah kematian. Tapi aromanya lebih lekat pada keluarga yang hangat.
.
.
Entah aroma apa yang hidup di memori anak-anakku kelak untuk mengenang masa kecilnya yang senang di saat kehidupan tak lagi semudah angan-angan.

#klenteng Eng An Kiong #malang
Desember 2017

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang