CAK RI

.

Cak Ri yang asli Lumajang saat ini berusia jelang 50 tahun. Membantu Emak membuat dendeng sapi cap Flores, usaha rumahan keluarga, sejak aku masih SD. Sejak kecil aku biasa memanggilnya "Ri" saja tanpa Mas atau Om atau Pak. Entah kenapa, mungkin latah mengikuti orang-orang dewasa di sekitarku.

Ri menguasai semua resep dendeng warisan Emak. Dendeng irisan, dendeng giling, dendeng gepuk. Semua dibuat dengan cara yang berbeda walaupun dibumbui dengan racikan bumbu yang sama. Tugasnya menyiapkan bumbu, melumurkan racikan bumbu pada lembar-lembar daging sapi lalu menjemurnya di atap rumah.

Ri bekerja membantu Emak sejak Engkong masih ada. Seingatku Engkong yang saat itu sudah sering anfal karena gangguan jantungnya paling suka melontarkan gurauan pada Ri seperti ini, "Kon suk tak jak yo! Nang surgo! Engko dulinan bal-balan. Yo, gelem a?" Lalu Ri akan menanggapinya dengan tertawa terbahak-bahak.

Ri bahkan masih bekerja membumbui dan membungkus dendeng cap Flores saat ia menikah dan mempunyai anak semata wayang. Nama anaknya Yulia Permata Sari. Tanggal lahirnya sama persis dengan tanggal lahirku. Kebetulan yang manis.

Namun rupanya tuntutan kebutuhan ekonomi membuatnya memutuskan untuk berhenti membantu Emak membumbui dan menjemur dendeng sapi. Ri mendaftar menjadi TKI. Selama kurang lebih 8 tahun, ia bekerja di Malaysia. Tak lagi merebus gula merah atau menaburkan ketumbar di atas lembaran daging sapi, tapi menata batu bata dan merekatkannya dengan adonan semen di proyek-proyek pembangunan rumah di negeri orang.

Ia tidur di dalam kontainer berdesakan dengan 8 orang lainnya. "Jangan coba-coba masuk kalau siang hari, puanas," katanya. Selama 8 tahun, 4 kali ia mengalami razia work permit. "Walaupun punya work permit, tetap saja ndredeg," katanya. Kalau tidak punya permit bisa langsung dikecrek terus dibuang ke Kalimantan begitu ia bercerita. Tapi rupanya tak sia-sia juga kerja kerasnya. Di desanya di Lumajang, ia bisa membangun rumah untuk anak istrinya. Ah, dan cucunya. Ya, sekarang ia sudah mempunyai cucu sepantaran anak sulungku. Kurang lebih delapan tahun ia bekerja, pulang hanya sekali di pertengahan tahun kelima untuk menikahkan Yulia, anak semata wayangnya.

Selama bekerja di Malaysia, Ri sesekali masih berhubungan dengan Emak waktu masih hidup. Juga denganku. Ia suka menelepon, bertukar kabar. "Sehat waras kabeh a?" Biasanya begitu ia bertanya.

Pertengan tahun ini work permitnya tak bisa diperpanjang lagi.Ia harus pulang. Tapi kewajibannya terhadap keluarga tak ikut usai. Ia kembali ke sini, meracik dan melumuri lembar-lembar daging sapi dengan bumbu dendeng cap Flores, menjemur dan membungkusnya.

Liburan Natal tahun ini adalah pertemuanku yang pertama dengan Ri setelah lebih dari 8 tahun. Rambutnya masih hitam, penampilannya tak berbeda sedikut pun dengan Ri yang hidup dalam ingatanku. Gaya dan cara bicaranya juga masih sama walaupun sekarang ia bisa bicara dengan logat Melayu.

"Putuku yo sakmene iki," katanya sambil menunjuk anak sulungku lalu menggendongnya.

Hari ini Ri menjemur dendeng. Aku mengajak Randu dan Eda melihat. Melihat warisan jerih payah dan tetesan keringat leluhurnya dan orang-orang yang membantunya dalam lembar-lembar dendeng sapi cap Flores yang sedang mengering dibakar matahari.
Malang, 30 Desember 2017
.
.
.
Pesan sponsornya: mau pesan dendeng sapi cap Flores, hubungi: 0341-367371 atau pesan sama saya 😆😆😆

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang