Takbir Keliling


Randu dan Eda melompat-lompat gembira menyaksikan rombongan demi rombongan takbir keliling yang melintas.

Ada rombongan yang membawa gunungan. Ada rombongan yang membawa tiruan tugu Jogja. Ada rombongan yang membawa patung

Semar. Demikian juga dengan kostumnya, ada beberapa rombongan yang Bapak-bapaknya mengenakan surjan, ada pula yang jadi Hanoman. Temanya Jogja banget. Asyik sekali.
"Allahu akbar walillahilam," begitu lantunan yang menyertai langkah peserta takbir keliling. Lantunan doa itu terasa dekat. Ya, dekat dan tenang. Setidaknya saya mengerti bahwa Allahu akbar itu berarti Allah Maha Besar. Dan semua makhluk di bumi sesungguhnya mengamini hal.yang serupa dan mengungkapkannya dalam.berbagai macam bahasa. 


Sedihnya, mungkin di tempat yang lain di waktu yang lain, seruan "Allahu akbar" yang indah itu bisa jadi identik dengan trauma, dengan ketakutan, kesedihan, bahkan kematian. Sungguh sangat sedih.
Saya seorang Katolik, dan sampai detik ini saya yakin bahwa Islam tidak sama dengan kekerasan. Islam tidak sama dengan terorisme.

Saya yakin semua agama mengandung unsur kasih dan kebaikan.
Dengan pengalaman menyaksikan takbir keliling yang menggembirakan ini semoga Randu dan Eda selalu ingat bahwa Islam itu bukan musuh. Muslim itu juga saudara seperti Hindu, Budha, atau Konghucu, atau Protestan, atau Yahudi atau Sikh. Dan keyakinan itu biarlah menjadi urusan tiap pribadi manusia dengan Penciptanya.

"Eda, masih ada lagi lo itu," kata Bapak. Eda tersenyum senang menantikan rombongan takbir berikutnya lewat.

"Ayo Mama, kita ikut terus," pinta Randu saat rombongan takbir keliling yang terakhir sudah lewat.
Persaudaraan itu indah dan Tuhan itu satu. Ajarkanlah demikian pada anak-anak kita

Foto: Bapak George Oscar Ferns

Malam Takbiran menjelang Lebaran 2017

 

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang