Ransel, Sulur, dan Duri

Kupanggul ransel harapan
Kudongakkan kepala sampai marah entah pongah
Melangkah tergesa, memburu bahagia
"Sial!" Umpatku kesal
Bahagia tak terkejar

Kuhempaskan saja ransel harapan di pinggir jalan
"Berat!" Gerutuku
Terengah berlari mengejar bahagia
"Taik!" Teriakku
Bahagia sekarang punya sayap

Mendadak kakiku ditumbuhi sulur-sulur keputusasaan
"Aaahhh!" Jeritku
Belenggu sulur lebih kuat dari borgol berkancing
Padanya tumbuh duri-duri kecemasan yang menusuk-nusuk seluruh badan jiwaku
Aku meronta dengan daya penyangkalan yang paling kuat
Belenggu sulur jadi makin erat
Bahagia kian pekat tak terlihat

Sampai hari ke empat ratus lima puluh aku memutuskan berhenti meronta membebaskan diri dari sulur dan duri
"Cukup," bisikku lemah, "Ini akhir perjalananku mencari bahagia."
Aku tertidur bersama sulur dan duri
Makan bersama mereka
Mandi bersama mereka
Aku menyerah, biarlah badan jiwaku hidup bersama sulur dan duri
Bukankah tak ada yang abadi?
"Ah, sudahlah," gumamku

"Ah!" Teriakku kaget
"Apa itu yang hijau?"
"Oh!" Aku terkesiap. Duri sudah luruh berganti daun
Sulur merambat lepas menancap pada tanah
Kutepuk-tepuk badan jiwaku
"Mimpikah ini?"

Tepat di depanku
Tangan transparan terulur,
"Kenalkan, aku bahagia."

Jogja, 24 Septermber 2016

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang