Elegi Damai

Damai sedang menata baju-bajunya dalam koper.
"Lho, kamu mau ke mana?" tanyaku.
Ia memalingkan mukanya sebentar sambil menatap wajahku. Senyumnya mengembang, lalu ia menutup kopernya.
.
.
Dalam lima hitungan dan degup jantungku yang mendadak berderap cepat, damai sudah pergi dari hadapanku. Mendadak ruangan jadi gelap. Suasana jadi sunyi mencekam. Keringat dingin mulai jatuh seperti hujan dari mendung yang pekat.
.
.
"Kenapa damai pergi?" Aku mulai gemetar. Bagaimana kalau aku kesepian tanpa damai di sisiku. Bagaimana kalau aku tak bisa menghadapi persoalan. Bagaimana kalau aku nanti jadi hilang ingatan kalau damai terus pergi?!
"OH!"
.
.
"Aduh ini gelap. Biasanya ruangan ini terang kalau ada damai di sini."
Aku merangkak ke sana kemari. "Lilin, aku harus menyalakan lilin. Cepat! Cepat! Gelap dan sunyi ini sungguh ngeri."
Untung aku segera menemukannya. Bersama koreknya. Kunyalakan sebatang. Ah, lumayan. Walaupun tak seterang kalau ada damai di sini.
.
.
Aku diam tak berani melangkah ke mana-mana karena cahaya lilin sempit jangkauannya. Aku cuma duduk diam memandangi api lilin sambil mengatur napasku. Ini sudah kesekian kalinya damai pergi meninggalkanku begitu saja, selalu dengan senyum mengembang di wajahnya dan degup jantungku yang bertambah cepat.
.
.
Kali ini aku menyerah. Aku hanya akan memandang api lilin, menikmati terang dan hangatnya. kalau nyalanya habis, akan kunyalakan satu lagi, menikmati terang dan hangatnya. Begitu saja terus sampai lilin di kotakku habis. Kali ini aku pasrah.
.
.
Aku mulai berbaring, bersenandung lagu rindu sambil menikmati terang dan hangatnya lilin. Lalu aku menyalakan lilin berikutnya dan kembali berbaring. Sejenak kupejamkan mataku.
.
.
Waktu kubuka lagi mataku tak ada lagi cahaya lilin. Ini bukan ruang gelap lagi. Aku berdiri di tepi jalan yang terang. Oh! Aku tidak sendiri, ada yang menggenggam tanganku. Kuangkat wajahku, heran jantungku tidak berdegup kencang.
Kupalingkan mukaku menatap wajahnya. Damai.
.
.
"Kau sudah mengucapakan kata sandinya dengan benar. Sekarang kau bisa ikut berjalan denganku," kata damai.
"Kata sandi?"
"Kau berkata, aku pasrah. Itu baru betul," Damai menjelaskan.
"Kita mau ke mana?"
"Ikuti saja guratan lukamu, nanti kau akan tahu," damai dengan sabar menerangkan.
.
.
Kami melangkah menapaki guratan luka. Pada langkah ketiga aku mendengar, "Akhirnya kau buka juga pintu hatimu untuk-Ku. Terima kasih anak-Ku."
.
.
Mengenang guratan luka yang memperkenalkanku pada kelembutan hati Tuhan dan betapa Ia begitu bersabar meneteskan air pada hatiku yang sekeras batu. 


Lia, Malang, 27 Desember 2019


Potone Yulia Loekito.

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang