Tentang Agama Ayah Saya


Selama lebih dari tiga perempat waktu hidupnya Ayah saya tidak beragama.

Dia bersekolah di sekolah Katolik, dia tahu cara berdoa dan tata cara beribadah secara Katolik. Dia juga hidup di tengah budaya Tionghoa yang masih kental, maka tradisi sembayang di klenteng pun dia tahu. Ketika akhirnya dia menikah dengan Ibu saya, mereka menikah secara Katolik di gereja.
Selama lebih dari tiga perempat waktu hidupnya Ayah saya tidak beragama. Pun setelah dia menikah di depan altar di gereja.

Pada usia 40-an Ayah saya sangat tertarik dengan ajaran Islam. Dia punya satu Al-quran terjemahan. Dia paling suka membaca surat Annisa. Entah mengapa, saya tak tahu, karena saya belum pernah ikut membaca. Dia senang berdiskusi dengan rekan-rekan kerjanya di Puskesmas tentang Islam. Saya pun senang mendengarkan diskus-diskusi itu. Ada Bapak tua yang pintar bercerita. Beliau suka menceritakan kisah-kisah yang dikenal dalam Islam, sayangnya saya tak mampu lagi mengingatnya, waktu itu saya masih sangat kecil. Tapi ceritanya bagus, itu yang saya ingat.

Selama lebih dari tiga perempat waktu hidupnya, Ayah saya tidak beragama. Tapi dari padanyalah saya belajar banyak hal tentang kemanusiaan.

Ada seorang pasiennya yang hendak membayar ongkos berobat dengan seplastik uang receh. Tak diterimanya uang itu.

Orang tua dari anak-anak kecil yang sakit panas menggedor pintu rumah kami di malam hari bahkan dini hari, dilayaninya tanpa keluh. Sirup penurun panas dan handuk untuk digigit supaya lidah tidak tergigit. Begitu prosedur pertolongan pertamanya.

Kalau malam-malam ada polisi yang datang, itu berarti ada orang tenggelam atau bunuh diri yang harus diidentifikasi. Ayah saya sesungguhnya tak ingin menjadi dokter, tapi semuanya dijalani dengan ikhlas. Tak boleh ada satu nyawa pun yang tak ditolong.

Selama lebih dari tiga perempat waktu hidupnya, Ayah saya tidak beragama.

Kalau ditanya, "Papa kenapa tidak mau dibaptis?" Katanya, "Papa merasa belum siap menjalankan ajarannya. Kalau hanya sekedar baptis saja lalu tidak melakukan ajarannya dengan baik, Papa tidak mau." Ya, ya, memang ada gen "keras kepala" itu di keluarga kami.

Selama lebih dari tiga perempat waktu hidupnya, Ayah saya tidak beragama. Tapi dia tak pernah korupsi, dia juga tidak tega tarik bayaran mahal dari pasien. Kami hidup di desa. Mungkin, Ayah saya adalah salah satu dokter termiskin yang pernah saya temui.

Demikianlah Ayah saya menjalani lebih dari tiga perempat hidupnya tidak beragama. Hanya agama KTP saja.

Beberapa saat menjelang akhir hidupnya barulah dia mau memilih dibaptis secara Katolik. Syukurlah, kami bisa berdoa untuknya dengan cara yang sudah kami kenal. Untuk ketenteraman arwahnya. Untuk pengampunan dosanya.

Tapi lebih dari tiga perempat waktu hidupnya Ayah saya sudah mengamalkan sebagian besar ajaran agama yang adalah "KASIH." Dalam lebih dari tiga perempat kurun waktu hidupnya yang tidak beragama

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang