Dirigen Paduan Suara



Kami memilih duduk di bangku paling depan karena di kapel itu duduk di barisan paling depan adalah tempat yang nyaman untuk anak-anak, mereka bisa berjalan ke sana kemari tanpa mengganggu jemaat lain. Kali ini kami memilih duduk di sisi sebelah kanan persis di depan tempat duduk paduan suara.
Tanganku menenteng tas berisi baju dan susu anak-anak., sementara Eda bergelayut di gandengan tanganku. Sedangkan Randu tertidur pulas dalam gendongan Bapak.

Lonceng tanda mulai misa baru saja dibunyikan.
Eda masih merengek minta dipangku dan tas-tas kuletakkan begitu saja di bangku sebelah yang kosong. Pikiranku penuh sesak dengan pikiran-pikiran tentang rutinitas, tentang pekerjaan yang belum diselesaikan untuk hari besok, dan tentang menu sarapan yang harus kusipakan besok pagi-pagi buta sebelum anak-anak bangun.

Mataku memperhatikan Pastor yang sudah melangkah menuju altar, namun pikiranku masih terpusat dengan rentetan tugas dan jadwal-jadwal yang seperti melayang-layang di antara lekukan-lekukan otakku. Tanda salib pembuka kubuat sekenanya saja sambil meladeni Eda yang masih merengek karena posisinya yang belum pas di pangkuanku.

Sampai tiba waktunya "Kyrie" akan dinyanyikan. Tuhan kasihanilah kami. Belum lagi lagu dilantunkan, mataku tiba-tiba terpaku pada dirigen paduan suara. Berba
ju terusan biru, rambut panjang digerai, matanya menatap para penyanyi dengan mantap, seulas senyum samar tersungging di bibirnya ketika ia mulai menggerakkan tangannya memberi aba-aba.

"Kyrie eleison ..."
"Tuhan kasihanilah kami ..."

Seketika rententan tugas-tugas, jadwal-jadwal dalam lekukan otakku memudar begitu saja, hanyut dalam gerakan tangan sang dirigen.

"Christe eleison ... "
"Kristus kasihanilah kami..."

Ruang pikiranku dipenuhi hujan kesadaran, akan keberadaan. Hidup ini terlalu berharga untuk dipenuhi hanya dengan sekedar rutinitas, dengan kecemasan-kecemasan tanpa ujung, dengan keraguan-keraguan yang picik.

"Kyrie eleison ..."
"Tuhan kasihanilah kami ..."

Kelopak mataku mulai basah oleh air mata yang tertahan. Sang dirigen masih mengayunkan tangannya dan wajahnya memancarkan ekspresi menawan yang mampu mengendalikan perpaduan suara para penyanyinya. Betapa hebatnya Tuhan. Begitu terperincinya Tuhan menganugerahkan kelebihan dan kekurangan bagi satu per satu makhluk ciptaannya, sehingga yang satu bisa melengkapi yang lain. Dan betapa hancurnya hati Tuhan, jika melihat manusia yang dikasihnya saling tindas entah memperebutkan apa, Hidup ini terlalu berharga jika digunakan untuk saling mencari kesalahan dan pembenaran diri.

"Christe eleison ... "
"Kristus kasihanilah kami..."

Aku mulai ikut menyanyi, hanyut dalam gerakan tangan sang dirigen. Hidup ini terlalu berharga untuk dipenuhi dengan pergulatan dalam dendam dan cinta diri. Hidup ini terlalu berharga jika hanya digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam ketergesa-gesaan. Aku mengehela napas di antara jeda. Betapa lemahnya aku dan betapa baiknya DIA.

Donna nobis pacem .
Berilah kami damai …  

Sang dirigen menutup alunan lagu dengan satu gerakan tangan yang diikuti seluruh penyanyi dalam paduan suara. Mengalir damai dalam lekuk-lekuk dalam otakku dan ruang-ruang gelap hatiku, dan IA menganugerahkannya melalaui ayunan tangan sang dirigen.

I have just seen God in the faces of others.
HE is true. HE does live among us day after day.
Truly, HE is the only source of life, love, and peace.

If you’re in a hurry, please stop, take a deep breath and start to find God in the faces of others. Talk to them, laugh and cry with them, be thankful for them. Since life is too worthy to be spent as merely routine or even as a race.

Lia Loeferns, Jogja, 27 Agustus 2018



Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang