Siswa yang Terlibat, Kunci Efektivitas Pembelajaran




Siswa yang Terlibat,  Kunci Efektivitas Pembelajaran
Oleh Yulia Loekito
Saya sering terkenang saat-saat ketika saya ditugasi untuk bekerja kelompok oleh guru SD saya. Pelajaran Bahasa Indonesia. Tugasnya adalah menyusun naskah drama kemudian mementaskannya. Gembira dan antusias adalah perasaan yang melekat dalam ingatan saya. Tanpa merasa lelah maupun enggan, saya dan teman-teman menyusun naskah drama, berbagi peran, menentukan kostum dan properti sederhana yang akan dipakai untuk pementasan, dan berlatih. Berlatih secara mandiri, tanpa pengawasan guru. Di rumah, bukan di sekolah. Dilakukan secara sukarela tanpa paksaan. Dilakukan bukan semata-mata untuk mendapat nilai bagus tapi untuk mempertunjukkan pementasan yang bisa membuat teman-teman terhibur, tertawa atau bahkan menangis. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah cara belajar yang diterapkan oleh guru-guru SD saya kala itu, sekitar tahun 1980-an. Efektifkah? 

Tingkat keterlibatan dan motivasi siswa adalah dua hal dari sekian banyak hal yang bisa dijadikan tolok ukur efektivitas suatu teknik pembelajaran. Siswa yang secara sadar maupun tidak sadar memiliki dorongan untuk melakukan suatu tindakan tertentu adalah siswa yang memiliki motivasi[1]. Sekelompok siswa yang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya adalah sekelompok siswa yang memilik motivasi[2].  

Mengapa tugas membuat kerja kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya bisa menjadi salah satu kegiatan yang menumbuhkan motivasi dalam diri siswa? 

Menurut Choice Theory yang muncul dari pemikiran William Glasser, seorang tokoh di dunia psikiatri, tindakan manusia digerakkan oleh beberapa kebutuhan, yang meliputi kebutuhan untuk mempertahankan diri (survive), kebutuhan akan cinta dan keterlibatan (love belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), serta daya atau kompetensi (power or competence)[3]. Empat hal yang disebutkan belakangan adalah kebutuhan psikologis manusia yang mendasar. Sedangkan manusia secara alami memiliki rasa ingin tahu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan psikologisnya untuk bertahan serta mengembangkan hidupnya. 

Dalam tugas membuat naskah drama dan mementaskannya, siswa secara langsung terlibat (belonging) dalam proses pembelajaran sebagai subjek, bukan sekedar objek.  Siswa tidak sekedar duduk mendengarkan ceramah guru, tapi mendapat kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan yang sedang mereka pelajari. Dengan keterlibatan itu maka dalam diri siswa juga tumbuh rasa menjadi bagian dari komunitas tempat mereka belajar. Keterikatan dan rasa memiliki siswa dalam komunitas belajar itu bisa membuat mereka merasa aman, nyaman, dan merasa diterima baik oleh guru maupun teman-temannya. Kebutuhan psikologis mendasar yang pertama terpenuhi. Tak heran tumbuh motivasi dalam diri siswa. 

Pun dalam tugas membuat naskah drama dan mementaskannya siswa atau kelompok siswa ini memperoleh ‘kebebasan’ (freedom). Kebebasan seperti apakah yang dimaksud? Kebebasan untuk memilih. Jika siswa diperkenankan untuk menentukan sendiri dengan siapa ia akan membuat kelompok, itu adalah suatu bentuk kebebasan. Kebebasan yang bertanggung jawab. Karena ada tujuan yang harus dicapai dan diusahakan bersama oleh kelompok tersebut. Juga harus ada peran yang harus diampu oleh masing-masing anggota kelompok. 

Jika siswa diperbolehkan untuk menentukan sendiri tema drama yang akan mereka susun dan perankan, itu juga suatu bentuk kebebasan. Mereka bisa memilih tema-tema yang sesuai dengan minat mereka. Pun, kebebasan itu bukan tanpa konsekuensi. Dalam kelompok yang anggotanya beragam, tentu akan ada perbedaan pendapat dan minat. Tak sekedar mendapat kebebasan, siswa juga belajar untuk berdiskusi, bertoleransi, berkompromi. Bahkan memecahkan masalah dan membuat keputusan. 

Sampai titik ini saya kembali mengingat proses belajar yang pernah saya alami ketika duduk di bangku Sekolah Dasar dan menyadari betapa banyaknya keterampilan sosial yang telah saya pelajari dari tugas ini. Saya belajar berkomunikasi, memecahkan masalah ketika terjadi perselisihan, bahkan sekali waktu belajar memimpin. Dan tentu saja saya dan teman-teman saya belajar bertanggung jawab. Karena pada hari yang ditentukan, apapun yang terjadi kami harus mementaskan dramanya.
Selanjutnya, kebebasan ini juga mendorong keterlibatan siswa dalam proses belajar. Sekali lagi terlibat sebagai subjek, bukan sekedar objek. Dengan demikian diharapkan dapat tumbuh pula rasa percaya diri dalam diri siswa yang terlibat. Pada akhirnya motivasi pun tak dapat dielakkan akan muncul ke permukaan. 

Lalu apakah jika siswa terlibat dan mendapat kebebasan yang bertanggung jawab, serta merta ia juga akan memperoleh kesenangan (fun)? Ya. Namun, peran guru tentu tetap menjadi kunci di sini. Guru yang mampu membangun antusiasme siswa, guru yang mampu memberi kepercayaan pada siswa sehingga bukan rasa takut yang tumbuh melainkan rasa tanggung jawab. Guru yang mampu memberi pujian dan teguran dengan kadar yang pas sehingga mampu membangun rasa percaya diri dengan takaran yang pas pula dalam diri siswa. Guru semacam inilah yang pada akhirnya mampu menciptakan rasa gembira dalam proses pembelajaran. Rasa gembira tentu menjadi pemicu munculnya motivasi. 

Namun, apakah keterlibatan, kebebasan, dan rasa gembira sudah cukup menjadi jaminan bagi siswa untuk mencapai kompetensi tertentu sebagai hasil dari proses belajarnya? 

Kembali fungi guru berperan. Guru tidak cukup semata-mata hanya memaparkan berbagai macam cara untuk menyusun naskah drama dan bagaimana cara memerankannya. Alih-alih hanya menerangkannya, guru harus bisa menunjukkan caranya. Memberikan contoh-contoh serta latihan pendahuluan yang jelas sebelum siswa bisa bekerja secara mandiri. Dengan contoh dan pendahuluan yang jelas, yang disertai latihan yang cukup, guru menciptakan kerangka berpikir dalam diri siswa, sehingga ketika tiba saatnya siswa diminta bekerja secara mandiri siswa akan jadi percaya diri, karena siswa yakin ia akan bisa melakukannya. 

Sejenak saya kembali mengingat tugas menyusun naskah drama dan pementasan yang pernah saya dapat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Barangkali di bagian kompetensi ini bisa saya katakan masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam peran guru yang membimbing kami. Contoh serta latihan pendahuluan yang jelas belum terlalu banyak dipraktikkan oleh guru yang membimbing kami waktu itu. Mungkin karena itulah, ada beberapa siswa yang tampak sekedar ikut-ikutan sehingga pencapaian sekelompok kecil siswa itu juga tidak optimal. Namun demikian, pada saat seperti itu secara alamiah muncullah tutor sebaya. Peran tutor sebaya ini jika diolah dan disiapkan dengan baik oleh guru tentunya akan membuat proses pembelajaran lebih bermakna dan hasil yang dicapai tentu akan lebih optimal. 

Kembali pada pertanyaan awal, efektifkah teknik pembelajaran yang diterapkan oleh guru saya ini?
Mari kita lihat melalui kacamata kajian lain. Oleh para pemikir teori pembelajaran yang melihat dari sisi kognitif, berikut ini adalah salah satu definisi umum pembelajaran beserta kriteria-kriterianya. “… Pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya….  Orang dikatakan belajar ketika mereka menjadi mampu melakukan suatu hal dengan cara berbeda.[4]

Jika siswa pada tugas menyusun naskah drama dan mementaskannya mampu menemukan cara-cara baru, seperti menemukan cara untuk menyusun kalimat percakapan antara dua orang yang sedang berseteru dengan kalimat yang tepat, yang belum mereka buat sebelumnya. Atau menemukan cara baru untuk membantu teman satu kelompoknya yang mengalami kesulitan menambahkan ekspresi ketika  mengucapkan kalimatnya. Dan jika perubahan itu menetap dalam jangka waktu yang lama, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi proses pembelajaran. Efektifkah? 

Guru dan siswa sebagai pelaku utama proses pembelajaran adalah pihak-pihak yang harus selalu melakukan refleksi atas pertanyaan tersebut. Apakah kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia sebagai pembelajar telah terpenuhi? Apakah proses pembelajaran dari sisi kognitif telah terjadi? Bagaimana mempertahankan dan mengembangkannya? 

Becermin dari pengalaman dan kajian ini, efektivitas teknik pembelajaran ini masih perlu terus dikaji, diuji dan diterapkan dengan perbaikan-perbaikan. 

Pada masa kini, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam suatu kelompok belajar alternatif di bidang bahasa Inggris kembali menerapkan teknik serupa. Pada kelas-kelas ekstra kurikuler bahasa Inggris, beberapa kelompok siswa kelas 5 dan 6 SD kami minta untuk menyusun naskah drama mereka sendiri, kali ini drama berbahasa Inggris sederhana kemudian mementaskannya. 

Agak berbeda dengan pengalaman di masa lalu, dengan tujuan perbaikan dan menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi serta kondisi sosial masyarakat yang makin berkembang, tak hanya tugas menyusun naskah drama dan mementaskannya, tapi pembagian peran masing-masing anggota kelas serta penggunaan bantuan teknologi untuk mendukung pementasan menjadi perhatian kami. Siswa diminta mengidentifikasi minat dan kemampuan mereka sendiri dalam suatu sistem kerja kepanitiaan sederhana. Mereka diminta menentukan siapa saja yang akan menjadi penulis skenarionya, siapa yang akan menjadi aktor dan aktrisnya, siapa  yang akan berperan menjadi penanggung jawab musik latar dan suara latar pendukung, siapa yang akan menjadi penanggung jawab kostum, dan alat-alat apa saja yang mereka butuhkan. 

Saat ini proses tersebut sedang berlangsung. Siswa terlibat, siswa memperoleh kebebasan yang bertanggung jawab, siswa mengalami kegembiraan. Ya! Guru memberikan pengarahan yang cukup jelas disertai contoh-contoh dan cara-cara berupa tips dan trik dalam mengatasi persoalan yang mungkin muncul. Ya! Efektifkah? 

Kembali, proses dan refleksilah yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Karena teori psikologis dan kognitif saja tentu tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang luas tersebut. Masih ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan mengenai efektivitas suatu teknik pembelajaran, seperti berbagai macam kondisi sosio-emosional guru maupun siswa, kondisi sekolah, hubungan antara sekolah dan orang tua dan wali murid, dan sebagainya. Hal yang terutama adalah guru harus terus belajar dan siswa harus makin terlibat untuk memastikan bahwa ada motivasi intrinsik yang terbangun dalam diri mereka. Dengan demikian kita akan terus bergerak dalam koridor yang jelas, menuju teknik pembelajaran yang makin efektif dan bermakna.  


[1] KKBI: definisi ‘motivasi’
[2] KBBI: definisi ‘motivasi’
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Glasser%27s_choice_theory, diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pk. 12.48 WIB
[4] Dale H. Schunk, hlm. 5, 2012

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang