MENILIK KASUS AHOK DARI SUDUT PANDANG PENDIDIKAN

Saya jadi makin curiga, kalau segala sesuatu yang terjadi belakangan ini adalah dampak dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Ya, mungkin bukan hanya melulu salah sistem pendidikan saja, tetapi faktor ini menurut saya memiliki peranan yang cukup besar.

Lemahnya kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis adalah salah satu contoh yang paling mudah kita temukan. Suatu paham, katakanlah radikalisme, tidak akan mudah tumbuh subur di kalangan masyarakat yang mampu berpikir kritis. Pada masyarakat yang pandai bertanya. Pada masyarakat yang mampu membuat pertimbangan-pertimbangan rasional. Pada masyarakat yang mampu membedakan antara fakta, opini, persepsi, bahkan hasutan. Pada masyarakat dunia maya yang mampu membedakan berita yang benar dan hoax. Tentu tak mudah menggerakkan massa di tengah masyarakat serupa ini. Namun, sayangnya dan rupanya sebagian besar masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk itu. Dan patut digarisbawahi di sini bahwa masyarakat yang saya maksud bukan saja kalangan tak terpelajar. Justru kaum terpelajarlah yang menjadi roda penggerak berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.

Ketidakmampuan masyarakat untuk menganalisis sejarah adalah contoh berikutnya. Ah, tentu saja! Bukankah selama kita bersekolah kita hanya diminta menghafal fakta-fakta tanpa dibekali kemampuan menganalisis, membuat hipotesis, mengujinya, lalu mengaplikasikannya pada peristiwa nyata di lapangan.

Untungnya sebagian kecil masyarakat dalam prosesnya mampu belajar dan tidak sekedar bersekolah, walaupun sebagian besar tampaknya belum berhasil menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya sendiri atau bahkan buta sama sekali tentang belajar sehingga dengan mudah dapat terpengaruh oleh berbagai macam pendapat yang belum terbukti kebenarannya maupun konsistensinya dengan fakta sejarah. Sekali lagi, ini terjadi bukan hanya pada kaum tak terpelajar, tapi justru pada kaum terpelajar.

Tak kalah pentingnya adalah rendahnya minat baca masyarakat. Sistem pendidikan kita masih belum berhasil membangkitkan minta baca siswa-siswinya. Mudah sekali menunjukkan buktinya.
Beberapa kali saya bepergian dengan naik kereta api. Berbagai macam penumpang ada di situ. Penumpang domestik maupun penumpang mancanegara. Menarik, kalau diperhatikan, hampir semua penumpang domestik melakukan hal yang kurang lebih serupa. Main HP, makan, melamun, tidur, dan ngobrol dengan teman. seperjalanan. Lain halnya dengan penumpang mancanegara. Sebagian besar dari mereka hampir sepanjang perjalanan membaca buku. Bahkan saya pernah duduk.di samping salah satu wisatawan mancanegara yang sedang menuliskan catatan perjalanannya dan membuat sketsa pada buku hariannya.

Rendahnya minat baca ini tak bisa tidak tentu berpengaruh pada wawasan masyarakat. Wawasan yang sempit juga berpotensi membuat orang mudah terpengaruh.Mudah mempercayai isu yang belum terbukti kebenarannya. Mudah ditakut-takuti. Mudah mengambil keputusan yang tak berkualitas. Sekali lagi, rendahnya minat baca tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat tak berpendidikan, tapi juga terjadi di kalangan kaum terpelajar.

Benang-benang merah antara berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini berseliweran dengan jelas di depan mata saya. Maka tulisan ini adalah bentuk dugaan saya terhadap sistem pendidikan negeri kita. Tentu saja masih dibutuhkan data yang konkrit untuk mendukung opini saya ini.
Nah, selanjutnya! Pun, tulisan ini saya buat karena beberapa hari ini terjebak dalam suasana medsos yang panas dan penuh caci maki.dan ratap tangis. Mari kita tak terus berkubang dalam permasalahan, tetapi segera bangkit, menemukan solusi dan bertindak. Dengan lugas saya mau mengatakan, biarlah generasi ini hancur. Namun generasi yang hancur ini masih bisa bersatu padu untuk menyelamatkan generasi berikutnya.

Saat ini mulailah mempertanyakan kualitas diri kita sendiri. Apakah aku sudah mampu 'bertanya'? Apakah aku sudah mampu membedakan fakta dan opini dan persepsi? Apakah aku sudah bisa menggunakan fakta sejarah dengan sesuai? Apakah aku sudah 'membaca'?
Lalu seiring dengan itu dengan memohon bantuan Tuhan kita yang Maha Esa. Ya, Tuhan kita masih satu, bukan? Memohon tumbuhnya kasih dan pengampunan yang berlimpah ruah dalam hati kita masing-masing.

Hei! Bukankah selalu ada hikmah di balik segala peristiwa, yang terburuk sekalipun? Kasus Pak Ahok seharusnya membuka kesadaran kita akan banyak hal. Dan karena adanya kesadaran itu maka kita bisa menemukan solusi-solusi baru, jadi pengorbanannya tidak sia-sia. Semangat!

Dear Bu Itje Chodidjah maju terus buat pendidikan di Indonesia!
I'm with you, willing to do anything I can do to help 😊

Jogja, pada hari raya Waisak, 11 Mei 2017

Comments

  1. Dunia pendidikan memang bisa jadi adalah kambing hitam akan semua persoalan di negara ini, Mbak. Mengerikan. Perbaikan itu harus dari hulu ke hilir, dan komitmen yang sungguh-sungguh. Semoga kita bisa memulai dari diri sendiri, dan anak-anak kita, ya, Mbak.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang