Gorila yang Menggebuk Dadaku


Tahukah kau kalau di dalam dirimu bisa hidup seekor kupu-kupu dan seekor gorila?
Kalau kau belum tahu, tak ada salahnya kau mulai mencari tahu sambil dengarkan ceritaku ini.

Saat mudaku aku cuma tahu kalau ada kupu-kupu dalam diriku. Ia suka bersarang dalam perutku. Banyak kali saat aku bangun dan melihat pagi, sayap kupu-kupu dalam perutku menggeletar. Rasanya nikmat, kami suka terkikik bersama. Bahkan saat hari pemakaman Kakekku, aku bisa merasakan sayap kupu-kupu bergetar dalam perutku. Kami tidak pernah menangis bersama, kami hanya suka menikmati senyum dan tawa. Tapi sebenarnya aku tak terlalu peduli apakah kupu-kupu itu selalu ada di situ atau terbang pergi, karena pagiku panjang dan banyak kesempatan bercengkerama dengan air, angin, dan dedaunan.

Tapi muda tak tahan lama. Waktu muda makin matang, senja makin cepat tiba. Pagi tak sepanjang dulu. Saat itu aku baru tahu kalau ada gorila di dalam dadaku. Di suatu senja yang yang jahat karena telah merenggut jiwa Bapakku, gorila itu menggebuk dadaku. Sial!

Kupu-kupu tak pernah muncul lagi sejak gorila itu menggebuk dadaku. Kuusap-usap perutku berharap kupu-kupu muncul lalu kami bisa manikmati senyum bersama lagi. Nihil! Gorila menggebuk dadaku kuat-kuat karena ia tahu aku sedang mengusap perut mencari kupu-kupu. "Gorila ini mengenal kupu-kupu," aku mengomel.

Kini pagi jadi makin pendek, bahkan senja pun hanya semburat ungu dalam hitungan detik lalu diganti pekat. Gorila makin suka menggebuk dadaku.
"Arghh! Hentikan! Aku sesak napas!"
Keringatku bercucuran, lelah karena gebukan gorila. Biasanya terus aku memejamkan mataku dan memeluk pekat.

"Pergilah dari dadaku, Gorila ..., " aku memohon pada suatu pagi yang singkat dan tajam. Gorila tak suka diusir. Ia menendangku kali ini. Kuat sekali sampai aku terhempas ke dinding dengan perut yang kesakitan. "Matikah kupu-kupu?" gumamku sebelum pekat merayap cepat masuk ke dalam mataku.
Badanku lemah, penuh memar dan selang. Perawat yang kekar menyuntikkan sesuatu ke dalam selang yang tertancap di tanganku buat mengusir sakit yang meremas perutku. "Gorila telah berhasil melumpuhkanku. Matikah kupu-kupu?"

Aku tak bisa lagi melawan gorila. Kubiarkan ia melakukan apapun yang disukanya dalam dadaku. Selang dan memar membuatku tak bisa bernegosiasi lagi dengannya.

"Sst ...."
"Hah! Siapa?"
"Aku."
"Gorila?" Aku bersiap digebuk. Tarik napas, pejamkan mata karena aku tak lagi berdaya.
"Iya, aku."
"Mau apa?"
"Masuklah ke dalam dadamu. Aku cuma ingin kita berkenalan."
"Hah! Mana mungkin!"--Gorila mau berkenalan dengaku.
"Ayo."

Tentu kau tak dapat membayangkan bagaimana caranya aku masuk ke dalam dadaku. Tapi aku berhasil. Tangan berbulu lebat dan besar yang biasa menggebuk.dadaku itu menyambutku.
"Aku ingin lihat wajahmu." Aku gemetar.
"Nanti saja. Aku ingin mengajakmu melihat kupu-kupu."
"Oh! Dia tidak mati?"
"Berhenti bicara. Pegang tanganku."

Aku bergandengan dengan gorila, masuk ke dalam perutku. Tak perlu kau bertanya bagaimana aku masuk ke dalam perutku. Percayalah, ada jalan menuju ke sana.
Memang benar ada seekor kupu-kupu di sana. Sayapnya tidak menggelepar. Ia hanya bersiul pelan.

"Sampai juga akhirnya."
"Apa?" Aku kebingungan.
"Aku yang meminta gorila membawamu ke sini."
"Hah!"
"Aku juga yang bilang pada gorila untuk menggebuk dadamu."
"Sialan!"
"Kau sudah tak bisa mendengar suara itu."
Gorila manggut-manggut.
"Suara?"
"Suara apa maksudmu?"
"Sst ...," bisik gorila.
"Berhenti bicara. Mendengar saja."
Gorila yang suka menggebuk itu tutur Katanya lemah lembut.
"Antarlah dia kembali pada memar dan selangnya supaya dia belajar berhenti bicara dan mulai mendengar."

Gorila menyodorkan tangannya yang besar dan berbulu padaku. Aku menggandengnya sampai di dadaku. "Aku belum melihat wajahmu," kataku.
Gorila berpaling.
Tepat setelah kulihat wajahnya, aku sudah keluar dari dadaku. Kembali pada memar dan selang-selangku.

Aku berhenti bicara. Katanya dengan begitu aku bisa mendengar suara itu lagi.
Sunyi.
Hari ini entah mengapa senja yang jahat tak tiba cepat. Pagi memanjang untukku yang tak lagi muda. Ah! Aku berhenti bicara, tepat.

Hingga senja merayap turun, tapi semburatnya fuschia. Ini bukan senja yang jahat.
"Terima dan bersyukurlah."
Senja fuschia bisa bicara?
"Terima dan bersyukurlah," ulang gorila di dadaku dan kupu-kupu di perutku.

Oh! Itu bukan suara senja fuschia. Itu suara yang dimaksud! Sekejap aku kembali masuk ke dalam dadaku dan bertatap muka dengan gorila penggebuk dadaku. Wajahnya adalah wajahku. Kami saling melempar senyum sebelum aku kembali pada memar dan selang-selangku dan terlelap dibuai dendang kupu-kupu dalam perutku dan dengkur gorila dalam.dadaku.

Dari sini kehidupanku pada pagi yang memanjang dan senja fuschia dimulai.

*)Some weird yet magical things might happen on your journey of finding yourself. No need to be overly surprised about it, especially on the unpleasant ones, since every time you look behind, you'll be able to find traces of God's love.

Comments

  1. Suka banget main di blog ini. Baca-baca tulisan di sini itu kayak baca buku cerita dari luar.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kasih Tuhan di km 63

Telinga

Lintang